Mengenang Garuda GA421 Mendarat di Sungai Bengawan Solo 16 Januari 2002
Tulisan ini dibuat pada Senin 19 Jan 2015, 09:47 WIB
Jakarta -
Cerita ini bersambung ya gan di detik.com nya, nanti kalau ane sudah ketemu sambunannya ane update lagi blog ini.
Kapten Pilot Abdul Rozaq (58) duduk menerawang kala ditemui di rumahnya yang asri. Rozaq tidak akan lupa mengenai kecelakaan pesawat Garuda Indonesia GA 421 yang mendarat darurat di Sungai Bengawan Solo karena semua mesinnya mati. "Detik-detik kematian sudah di depan mata," tuturnya.
Memakai kaos polo warna cokelat bata dan berkaca mata, Rozaq sangat lancar dan detil menceritakan detik demi detik sebelum peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya itu.
Pada 15 Januari 2002 lalu, seharusnya Pilot Rozaq dijadwalkan untuk terbang ke Kalimantan. Namun, Rozaq datang ke kantor paling awal. Sehingga, Rozaq dipindah untuk terbang ke rute Jakarta-Yogyakarta-Surabaya-Mataram yang jadwal keberangkatannya lebih awal. Rute itu, seharusnya dikomandani oleh pilot lain, namun pilot yang seharusnya dijadwalkan untuk rute itu terlambat karena terjebak banjir. Saat itu, Indonesia sedang dilanda banjir di mana-mana.
"Hari itu, sudah jadwal 3 kali penggantian schedule-nya. Pilot yang pertama telat, kedua telat, ketiga baru saya. Saya waktu itu sebetulnya diplot ke Kalimantan. Saya datang lebih awal, pilot yang kedua agak telat. Karena saya datang lebih awal, saya di-switch ke sana. Jadi jadwalnya tidak seharusnya. Bukan cuma saya, kopilotnya juga," kisah kapten Rozaq saat ditemui detikcom di rumahnya di kawasan Komplek Garuda, Cipondoh, Tangerang, Jumat (16/1/2015), tepat 13 tahun kecelakaan GA 421.
Pun dengan pramugari dan pramugaranya. Sedianya, ada 5 pramugari yang ditetapkan untuk terbang di pesawat Boeing 737-300 itu. Namun, seorang pramugari tidak datang karena terjebak banjir. Alhasil, hanya 4 pramugari yang terbang.
"Waktu itu berangkat rutenya Jakarta-Yogyakarta, baru kemudian ke Mataram. Tidak sedikitpun ada firasat apa-apa," tutur Rozaq.
Setelah sukses menerbangkan pesawat rute Jakarta-Yogyakarta-Surabaya-Mataram pada 15 Januari 2002 dan bermalam di Mataram, esoknya Rozaq dengan set kru yang sama harus terbang dengan jadwal dari Mataram-Surabaya-Yogyakarta-Jakarta.
Penerbangan dari Mataram-Surabaya normal, namun cuaca sudah hujan sejak pesawatnya terbang di Mataram. Kemudian, saat terbang dari Surabaya ke Yogyakarta, pesawat membawa 54 penumpang, dengan berat total pesawat 56 ton, pesawat yang dipilotinya juga terbang dalam keadaan hujan. Hingga tibalah pesawatnya terbang di ketinggian 31 ribu kaki.
"Di ketinggian 31 ribu kaki, di antara Surabaya-Yogyakarta, saya minta road direct ke Blora, memotong ke kiri. Harusnya ke Lasem. Ternyata diberikan (ATC). Jadi rutenya Blora-Purwodadi-Solo-Yogyakarta. Di ketinggian 31 ribu kaki, itu di depan ada awan CB (Cumulonimbus). Kalau ke kiri, masuk ke area militer di Lanud Iswahyudi, kan tidak boleh terbang di atas area militer. Kalau ke kanan ada gunung. Jadi rutenya memang harus lurus. Pada ketinggian 31 ribu itu, sudah mulai digoncang-goncang," kisahnya.
Weather radar (radar cuaca) di pesawat waktu yang saat itu masih konvensional, hanya menunjukkan 2 warna, hijau dan merah. Hijau berarti area yang aman dilalui, merah itu yang mestinya dihindari.
"Kalau weather radar sekarang ada 4 warna, hijau-tidak begitu kencang, kuning-agak kencang, merah-kencang, magenta-lebih kencang lagi. (Mengacu ukuran turbulensi). Nah, di weather radar dulu cuma ada hijau dan merah, saya memilih yang sudah tipis merahnya, ternyata selanjutnya malah merah semua. Pesawat turbulensi di ketinggian 31 ribu kaki. Turbulensinya setingkat severe turbulence," jelas Rozaq.
Penampakan radar cuaca di pesawat keluaran terbaru, ada 4 warna (Foto: via Kapten Pilot Abdul Rozaq)
Severe turbulence adalah turbulensi yang sangat hebat sehingga bisa menyebabkan penumpang dan awak kabin cedera. Sebelum masuk turbulensi, kapten Rozaq menyalakan lampu seat belt alias lampu penanda sabuk pengaman harus digunakan da membuat pengumuman pada para penumpang. Rozaq juga menyalakan ignition yang berfungsi seperti busi, untuk menambah pengapian. Plus menyalakan mesin anti-es agar mesin tidak mati.
"Karena sudah mulai masuk awan CB besar. Di dalam awan CB itu ada angin, awan, es, campur, jadi supaya aman antinya (anti-ice) sudah ada, supaya mesin tidak mati. Setelah masuk awan CB, tiba-tiba pesawat turun di ketinggian 23 ribu kaki. Kedua mesinnya mati. Suara CB sangat kencang, pesawat terguncang-guncang hebat, ke kiri-kanan-atas-bawah. Di kaca kokpit itu suaranya kencang terhantam-hantam es, sangat kencang," tutur Rozaq pelan mengingat kejadian itu.
Di ketinggian 23 ribu kaki itu mesin pesawat kemudian mati.
"Both engine flame out!" teriak kopilot Haryadi Gunawan seperti ditirukan Rozaq, yang berarti kedua mesin mati.
Saat mendengar kopilot berteriak seperti itu, Rozaq mengaku masih sangsi, "Saya dengar itu berpikir, apa benar dia ngomongnya?".
Kemudian kopilot Haryadi berteriak lagi, "Both engine flame out!".
Rozaq kemudian mengecek sendiri, dan mendapati kenyataan bahwa apa yang dikatakan pilotnya benar. Kemudian, langsung saja Rozaq mengambil langkah-langkah sesuai Standard Operation Procedure (SOP) bila kedua mesin mati.
"Pertama, engine fuel cut off. Itu kalau mobil harus melihat kecepatannya, hingga di kecepatan tertentu supaya dapat kecepatan, supaya dia (mesin) bisa memutar sesuai dengan kecepatan angin. Kemudian saya nyalain kan, seperti di-starter, di-ON-kan lagi, harusnya mau. Dimatikan, ON lagi, tidak mau menyala. ON-kan lagi, tidak mau menyala," katanya.
Di pesawat, ada generator yang standby, bernama Auxiliary Power Unit(APU) yang berada di ujung badan belakang pesawat. Pilot Rozaq dan kopilot Haryadi, mencoba menyalakan standby generator itu.
"Harus dinyalakan standby generator itu, untuk listrik, komunikasi. Karena dapat pressure untuk start mesin, diharapkan dinyalakan. Ternyata, saat dinyalakan, malah baterainya tidak kuat. Baterainya drop. Mati semua. Jadi instrumen, electrical, komunikasi, mati semua," tutur Rozaq.
Dalam kondisi mati mesin, mati listrik juga saluran komunikasi yang terputus, dalam keadaan terguncang-guncang dalam awan CB, dirinya dan kopilot membuka buku panduan darurat. Buku panduan itu memeriksa setiap tahapan SOP, apakah ada tindakan yang terlewat atau tidak dilakukan.
"Diulangi lagi (tindakan SOP saat mesin pesawat mati) dengan Emergency Check List, itu buku panduan restart engine. Jadi kopilot membuka buku, kemudian mengulangi lagi, mungkin ada yang kelupaan tindakannya. Dan di dalam memory item itu, tidak ada yang kelupaan. Tapi tetap tidak bisa menyala mesinnya," jelas dia.
Dalam keadaan demikian, kopilot Haryadi kemudian mengambil mikrofone, untuk mengabarkan kepada Air Traffic Control (ATC).
"Mayday! Mayday!" demikian kata kopilot seperti dituturkan Rozaq.
Rupanya, kopilot lupa bahwa saluran komunikasi ke ATC sudah terputus saat kedua mesin mati dan standby generator tidak bisa dinyalakan.
"Kamu itu komunikasi sama siapa? Komunikasi sudah mati, electrical sudah mati. Sudah, taruh saja," kata Rozaq pada kopilotnya.
Kemudian, pramugara senior Tuhu Wasono melihat ada kondisi darurat di kokpit. Dari kabin, pramugara Tuhu langsung berlari ke kokpit.
"Kemudian dia ke depan, saya briefing, "Prepare for emergency. Kedua mesin kita mati!". Setelah saya menunggu kok tidak ada respon, saya kemudian teriak 'PREPARE EMERGENCY!'. Pramugaranya menyahut 'PREPARE EMERGENCY!'," kenangnya.
Dalam kondisi pesawat mengalami turbulensi hebat, penumpang pun ada yang menangkap briefing pramugara Tuhu, ada yang tidak. Pramugara dan pramugari, juga mengatur untuk memindahkan penumpang dari pintu keluar darurat.
"Harusnya penumpang sudah bisa memakai pelampung, kan pada saat take off, sudah diperagakan cara memakai life vest. Sebagian ter-briefing, sebagian tidak. Saat semua sudah siap, kopilot tetap mengatakan 'Mayday Mayday'. Saya bilang, 'Sudah taruh saja. Mari kita berdoa'," kisahnya.
Bersambung....
Memakai kaos polo warna cokelat bata dan berkaca mata, Rozaq sangat lancar dan detil menceritakan detik demi detik sebelum peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya itu.
Pada 15 Januari 2002 lalu, seharusnya Pilot Rozaq dijadwalkan untuk terbang ke Kalimantan. Namun, Rozaq datang ke kantor paling awal. Sehingga, Rozaq dipindah untuk terbang ke rute Jakarta-Yogyakarta-Surabaya-Mataram yang jadwal keberangkatannya lebih awal. Rute itu, seharusnya dikomandani oleh pilot lain, namun pilot yang seharusnya dijadwalkan untuk rute itu terlambat karena terjebak banjir. Saat itu, Indonesia sedang dilanda banjir di mana-mana.
"Hari itu, sudah jadwal 3 kali penggantian schedule-nya. Pilot yang pertama telat, kedua telat, ketiga baru saya. Saya waktu itu sebetulnya diplot ke Kalimantan. Saya datang lebih awal, pilot yang kedua agak telat. Karena saya datang lebih awal, saya di-switch ke sana. Jadi jadwalnya tidak seharusnya. Bukan cuma saya, kopilotnya juga," kisah kapten Rozaq saat ditemui detikcom di rumahnya di kawasan Komplek Garuda, Cipondoh, Tangerang, Jumat (16/1/2015), tepat 13 tahun kecelakaan GA 421.
Pun dengan pramugari dan pramugaranya. Sedianya, ada 5 pramugari yang ditetapkan untuk terbang di pesawat Boeing 737-300 itu. Namun, seorang pramugari tidak datang karena terjebak banjir. Alhasil, hanya 4 pramugari yang terbang.
"Waktu itu berangkat rutenya Jakarta-Yogyakarta, baru kemudian ke Mataram. Tidak sedikitpun ada firasat apa-apa," tutur Rozaq.
Setelah sukses menerbangkan pesawat rute Jakarta-Yogyakarta-Surabaya-Mataram pada 15 Januari 2002 dan bermalam di Mataram, esoknya Rozaq dengan set kru yang sama harus terbang dengan jadwal dari Mataram-Surabaya-Yogyakarta-Jakarta.
Penerbangan dari Mataram-Surabaya normal, namun cuaca sudah hujan sejak pesawatnya terbang di Mataram. Kemudian, saat terbang dari Surabaya ke Yogyakarta, pesawat membawa 54 penumpang, dengan berat total pesawat 56 ton, pesawat yang dipilotinya juga terbang dalam keadaan hujan. Hingga tibalah pesawatnya terbang di ketinggian 31 ribu kaki.
"Di ketinggian 31 ribu kaki, di antara Surabaya-Yogyakarta, saya minta road direct ke Blora, memotong ke kiri. Harusnya ke Lasem. Ternyata diberikan (ATC). Jadi rutenya Blora-Purwodadi-Solo-Yogyakarta. Di ketinggian 31 ribu kaki, itu di depan ada awan CB (Cumulonimbus). Kalau ke kiri, masuk ke area militer di Lanud Iswahyudi, kan tidak boleh terbang di atas area militer. Kalau ke kanan ada gunung. Jadi rutenya memang harus lurus. Pada ketinggian 31 ribu itu, sudah mulai digoncang-goncang," kisahnya.
Weather radar (radar cuaca) di pesawat waktu yang saat itu masih konvensional, hanya menunjukkan 2 warna, hijau dan merah. Hijau berarti area yang aman dilalui, merah itu yang mestinya dihindari.
"Kalau weather radar sekarang ada 4 warna, hijau-tidak begitu kencang, kuning-agak kencang, merah-kencang, magenta-lebih kencang lagi. (Mengacu ukuran turbulensi). Nah, di weather radar dulu cuma ada hijau dan merah, saya memilih yang sudah tipis merahnya, ternyata selanjutnya malah merah semua. Pesawat turbulensi di ketinggian 31 ribu kaki. Turbulensinya setingkat severe turbulence," jelas Rozaq.
Penampakan radar cuaca di pesawat keluaran terbaru, ada 4 warna (Foto: via Kapten Pilot Abdul Rozaq)
Severe turbulence adalah turbulensi yang sangat hebat sehingga bisa menyebabkan penumpang dan awak kabin cedera. Sebelum masuk turbulensi, kapten Rozaq menyalakan lampu seat belt alias lampu penanda sabuk pengaman harus digunakan da membuat pengumuman pada para penumpang. Rozaq juga menyalakan ignition yang berfungsi seperti busi, untuk menambah pengapian. Plus menyalakan mesin anti-es agar mesin tidak mati.
"Karena sudah mulai masuk awan CB besar. Di dalam awan CB itu ada angin, awan, es, campur, jadi supaya aman antinya (anti-ice) sudah ada, supaya mesin tidak mati. Setelah masuk awan CB, tiba-tiba pesawat turun di ketinggian 23 ribu kaki. Kedua mesinnya mati. Suara CB sangat kencang, pesawat terguncang-guncang hebat, ke kiri-kanan-atas-bawah. Di kaca kokpit itu suaranya kencang terhantam-hantam es, sangat kencang," tutur Rozaq pelan mengingat kejadian itu.
Di ketinggian 23 ribu kaki itu mesin pesawat kemudian mati.
"Both engine flame out!" teriak kopilot Haryadi Gunawan seperti ditirukan Rozaq, yang berarti kedua mesin mati.
Saat mendengar kopilot berteriak seperti itu, Rozaq mengaku masih sangsi, "Saya dengar itu berpikir, apa benar dia ngomongnya?".
Kemudian kopilot Haryadi berteriak lagi, "Both engine flame out!".
Rozaq kemudian mengecek sendiri, dan mendapati kenyataan bahwa apa yang dikatakan pilotnya benar. Kemudian, langsung saja Rozaq mengambil langkah-langkah sesuai Standard Operation Procedure (SOP) bila kedua mesin mati.
"Pertama, engine fuel cut off. Itu kalau mobil harus melihat kecepatannya, hingga di kecepatan tertentu supaya dapat kecepatan, supaya dia (mesin) bisa memutar sesuai dengan kecepatan angin. Kemudian saya nyalain kan, seperti di-starter, di-ON-kan lagi, harusnya mau. Dimatikan, ON lagi, tidak mau menyala. ON-kan lagi, tidak mau menyala," katanya.
Di pesawat, ada generator yang standby, bernama Auxiliary Power Unit(APU) yang berada di ujung badan belakang pesawat. Pilot Rozaq dan kopilot Haryadi, mencoba menyalakan standby generator itu.
"Harus dinyalakan standby generator itu, untuk listrik, komunikasi. Karena dapat pressure untuk start mesin, diharapkan dinyalakan. Ternyata, saat dinyalakan, malah baterainya tidak kuat. Baterainya drop. Mati semua. Jadi instrumen, electrical, komunikasi, mati semua," tutur Rozaq.
Dalam kondisi mati mesin, mati listrik juga saluran komunikasi yang terputus, dalam keadaan terguncang-guncang dalam awan CB, dirinya dan kopilot membuka buku panduan darurat. Buku panduan itu memeriksa setiap tahapan SOP, apakah ada tindakan yang terlewat atau tidak dilakukan.
"Diulangi lagi (tindakan SOP saat mesin pesawat mati) dengan Emergency Check List, itu buku panduan restart engine. Jadi kopilot membuka buku, kemudian mengulangi lagi, mungkin ada yang kelupaan tindakannya. Dan di dalam memory item itu, tidak ada yang kelupaan. Tapi tetap tidak bisa menyala mesinnya," jelas dia.
Dalam keadaan demikian, kopilot Haryadi kemudian mengambil mikrofone, untuk mengabarkan kepada Air Traffic Control (ATC).
"Mayday! Mayday!" demikian kata kopilot seperti dituturkan Rozaq.
Rupanya, kopilot lupa bahwa saluran komunikasi ke ATC sudah terputus saat kedua mesin mati dan standby generator tidak bisa dinyalakan.
"Kamu itu komunikasi sama siapa? Komunikasi sudah mati, electrical sudah mati. Sudah, taruh saja," kata Rozaq pada kopilotnya.
Kemudian, pramugara senior Tuhu Wasono melihat ada kondisi darurat di kokpit. Dari kabin, pramugara Tuhu langsung berlari ke kokpit.
"Kemudian dia ke depan, saya briefing, "Prepare for emergency. Kedua mesin kita mati!". Setelah saya menunggu kok tidak ada respon, saya kemudian teriak 'PREPARE EMERGENCY!'. Pramugaranya menyahut 'PREPARE EMERGENCY!'," kenangnya.
Dalam kondisi pesawat mengalami turbulensi hebat, penumpang pun ada yang menangkap briefing pramugara Tuhu, ada yang tidak. Pramugara dan pramugari, juga mengatur untuk memindahkan penumpang dari pintu keluar darurat.
"Harusnya penumpang sudah bisa memakai pelampung, kan pada saat take off, sudah diperagakan cara memakai life vest. Sebagian ter-briefing, sebagian tidak. Saat semua sudah siap, kopilot tetap mengatakan 'Mayday Mayday'. Saya bilang, 'Sudah taruh saja. Mari kita berdoa'," kisahnya.
Bersambung....
Cerita ini bersambung ya gan di detik.com nya, nanti kalau ane sudah ketemu sambunannya ane update lagi blog ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar